123 – Domino Effect : … akhir sebuah awal – D[i]

123 – Domino Effect : … akhir sebuah awal [4]

Bayangan itu bergerak cepat, lurus. Menerobas hutan, tak perduli pepohonan menghalangi, dia tetap berlari lurus, batang yang menghalangi ditabrak hingga hancur berantakan. Saat mendaki lereng bukit pun, tak perduli batu menghalangi langkahnya, semua di terjang begitu saja, membuatnya rengkah. Dia tak ingin mengurangi kecepatannya, seolah esok sudah tiada hari lagi untuknya. Deru nafas tak beraturan membuat dada mengombak liar, hingga akhirnya di sebuah pondok di salah satu sudut lembah Gunung Khumbaira.

Pondok itu kecil, tapi di belakangnya, ada benteng di kelilingi tembok alami, tebing. Pondok kecil itu tak lebih hanya pintu masuk. Rasanya tak cukup kuat menahan serangan dari orang awam sekalipun. Tapi, lelaki yang memiliki peringan tubuh hebat ini tak berani melangkah lebih jauh, dia duduk bersila di depan podok sambil mengatur nafas. Sebelum mendapatkan izin, selangkahpun tak berani dia tapakkan. Garis pada tanah padas sepanjang setengah tombok di hadapannya, menjadi aturan baku, ‘barang siapa melewatinya, jangan pernah memikirkan kehidupan selanjutnya’, orang ini masih ingin hidup, dia tak ingin dikurung dalam benteng di belakang pondok itu.

Saat orang itu datang, waktu adalah tengah hari, tapi hingga malam haripun tak ada orang keluar dari pondok, hingga akhirnya pagi dijelang. Pintu pondok terbuka. Bunyi keriyutan pintu yang sudah mulai usang itu serasa menjadi alunan suara paling merdu bagi lelaki ini, matanya berbinar melihat kedepan.

Terlihat sebatang bambu hitam sebesar lengan keluar lebih dulu dari dalam, selanjutnya dia melihat satu langkah kaki, terlihat begitu berat. Tak berani memandang, orang ini menundukkan kepala. Matanya hanya berani melihat hingga sebatas lutut saja, pandangannya terfokus pada bambu hitam dengan lurik hijau tua, yang lamat-lamat mengeluarkan suara berderak. Sekeliling bambu itu sudah terlihat pecah, hingga saat mendapatkan tekanan tenaga dari atas, saling melengkung, tapi tidak patah. Keleturan bambu itu tak jauh beda dengan rotan—bahkan melebihiya. Lelaki ini tahu sekelumit, ada banyak rahasia dibalik kisah bambu sederhana itu. Tapi kisah Bambu Lentur berwarna kuning tentunya tidak sekelam bambu hitam ini.

Prak! Prak! Derak bambu terdengar makin kencang, seolah muncul beban ratusan kati yang harus disangga. Meski ujung bambu menempel di tanah, tapi tak sekalipun menimbulkan goresan.

“Hiaaaa!” mendadak si penghuni pondok berteriak kencang, hawa sakti bergulung-gulung saling tumpuk membuncah, membuat tanah dalam radius dua puluh tombak retak merata. Membuat lelaki yang tengah bersimpuh ini terpelating berguling-guling. Hempasan hawa sakti bagai letusan mortar bergulung-gulung melanda seputar dua puluh tombak kedepan. Belasan pohon sepelukan orang dewasa miring, nyaris tercabut dari akarnya.

Lelaki itu hanya bisa menyingkir dengan lutut gemetar, hanya pelepasan udara untuk menghela hawa sakti saja sudah membuat kondisi ruyam begini, apalagi jika dia bersungguh-sungguh. Setelah dirasa tak ada hempasan hawa sakti, dia mendekat dan duduk berlutut lagi.

Hening menggigit. Desau angin seolah tak bisa mendekat pada wilayah diseputar lelaki bertongkat bambu.

“Kemari!” katanya dengan suara yang lembut, membuat dia makin bergetar, konon orang itu akan timbul sikap kejinya saat berbicara ramah padamu.

Dengan takut-takut, si pendatang mendekat, kepalanya belum berani diangkat sejak tadi. Iapun tidak berani berbicara—takut salah, dengan cekatan diletakkan bungkusan yang digendongnya tadi. Bungkusan itu menyegel sebuah tempurung kelapa.

Penghuni pondokan bambu ini berkerut kening, di guncangnya secara perlahan, tidak ada terbit suara dari dalam. Dengan sekali remas, tempurung itu hancur, menyisakan selembar gulungan.

Hanya ada tulisan singkat. ‘Gunakan dia.’

Membuat penghuni pondok ini tersenyum tipis. “Maafkan aku.” Katanya seraya menyerahkan lembaran itu.

Tidak berprasangka apapun, di bacanya tulisan itu. “Ma-maksudnya apa?” untuk kali pertama dia baru berani mendongakkan kepala dengan tangan sedikit bergetar.

Hampir saja dia menjerit kaget, bukan karena tampang si penghuni pondok, tapi karena dia bisa merasakan senyum tipis dari wajahnya adalah keramahan yang membawa berita tak baik baginya. Keinginan bertahan hidup merupakan indera terpeka yang dimiliki manusia, demikian pula dengan si pendatang, begitu melihat senyum, dia berupaya mundur sekuat tenaga. Peringan tubuh andalannya terkembang sempurna, tubuhnya melejit kebelakang dengan pesat.

Kurang dalam satu helaan nafas saja, tiga puluh tombak sudah ditempuh dalam kondisi masih menghadap si penghuni pondok bambu. Saat tubuhnya membalik, untuk kembali menghela dengan kecepatan maksimal, baru dirasakan ada keanehan. Tubuhnya tak lagi bisa bergerak, seolah ada tangan tak terlihat menahan gerakan. Perlahan tubuhnya yang sedang melayang, turun menyentuh tanah.

Masih dalam kondisi membelakangi, dia terseret perlahan menuju penghuni pondok bambu, terseret makin mendekati rumah bambu. Pada saat garis yang menggores tanah sudah terlewat, rasa putus asa sudah melingkupi dirinya.

‘Dari pada aku harus menjadi budaknya seumur hidup, lebih baik aku mati dengan gegap gempita!’ pikirnya dengan tekad bulat. Tubuhnya segera membalik, lalu ditubruknya si penghuni pondok itu sekuat tenaga.

Kemahiran paling menonjol adalah peringan tubuh, dengan sendirinya hawa sakti orang ini tak cukup bagus saat difokuskan pada pukulan yang bersumber dari Perguruan Walet Hijau, Hawa Membuyar Berkirim. Hanya karena tenaga yang terfokus pada kaki untuk melejitkan peringan tubuh, memang sangat baik, membuat bobot pukulannya dapat naik berkali lipat. Tinju menderu dengan kuat, memecah angin dikanan kiri, langsung mengarah kepala si penghuni pondok.

Buuk! Pukulan mendarat mentah-mentah di wajah, membuat lelaki keluaran Perguruan Walet Hijau ini menyeringai. Pukulan miliknya merupakan salah satu ilmu andalan perguruan, jika dipukulkan pada benda, bisa merembet pada objek di belakangnya. Jika dipukulkan secara langsung, bisa dirambatkan sesuka hati keorgan lawan. Dan saat ini pukulannya dirambatkan ke jantung lawan. Membuatnya pecah!

“Nyaman sekali.” Desis si penghuni pondok membuat senyum girang segera lenyap dari wajah orang itu. Ternyata pukulan itu tak membawa hasil, kengerian langsung terbayang di wajahnya, manakala penghuni pondok itu mencengeram kepalan pukulan, menariknya dengan kuat membuat dia berlutut dengan kepala mendongak.

“Ilmu hebat, sayang sudah pernah kurasakan di masa lalu, ini tidak berguna buatku.” Katanya sambil mencengkeram ubun-ubun lawan. “Kau harus merasa terbormat, akan menjadi bagian diriku.” Desisnya lirih.

Di saat bersamaan lelaki dari Perguruan Walet Hijau merasakan seluruh himpunan hawa murninya tersedot keluar melalui ubun-ubun.

“Aaarhg!” raungan kesakitan memantul melalui dinding-dinding tebing. Dalam sela-sela kesakitannya karena hawa murninya bobol sederas itu. Lelaki ini mengutuk membabi buta. “Aku menyesal telah mempercayaimu… sungguh keji, sungguh keji! Kau… seorang Delapan Sahabat”suaranya tercekat sesaat. ‘…Empat Penjuru akan membayar ini semua!” Merasakan tenaganya berkurang drastis, satu tangannya yang bebas, meraba ke balik baju, diambilnya sebuah benda sebesar ujung kelingking.

Si penghuni pondok bambu, membiarkan kelakukan korbannya. Dia tidak merasa terancam sama sekali. Saat ini dia sedang mencerna dan menikmati curahan hawa murni korban.

“Hiaaa!” dengan sekuat tenaga lelaki itu melemparkan bola itu keatas dengan mengibaskan tangan kebelakang, kekuatan terakhir hawa murni yang masih tersisa dan keputusasaan membuatnya tak perduli jika lengannya harus patah akibat lemparan yang bertolak belakang itu.

Saat bola itu sudah mencapai titik tertinggi, barulah penghuni pondok bambu itu menyesalkan atas kecerobohannya. Bola itu meletus memancarkan asap putih, membuat burung-burung diseputar lembah itu segera terbang berkumpul mengerumuni asap. Bola itu seperti isyarat pemberitahuan, Perguruan Walet Hijau memiliki cara yang sangat unik dalam berkirim kabar. Saat bola asap itu dirumuni burung, dan burung-burung itu akan menjadi daya tarik sejumlah burung lain, hingga akhirnya kumpulan burung yang banyak itu akan menarik perhatian orang, mereka akan berputar-putar seperti membentuk payung raksasa di sekitar ledakan bola asap, hingga berhari-hari lamanya.

Menyaksikan burung-burung mulai berputar-putar diatas sana, lelaki ini malah tersenyum. Meskipun nanti akan banyak gangguan, tapi itu tak membuatnya kawatir, makin banyak orang datang kemari, makin banyak ‘santapan’ bergizi yang bisa di cernanya. Dengan langkah sangat lambat, orang ini kembali masuk kedalam pondoknya sambil menyeret tubuh sang korban.

===o0o===

Arwah Pedang sedang melintas diseputar Gunung Khumbaira, dia memperoleh permohonan dari salah seorang karibnya untuk mencari adiknya yang hilang, kabar terakhir menyatakan sang adik yang berprofesi menjadi petugas telik sandi Kerajaan Rakahayu. Langkah Arwah Pedang tersendat karena melihat kumpulan burung-burung berputar-putar diangkasa secara tidak wajar.

Adik sang kawan, pernah menjadi murid Perguruan Walet Hijau, atas tanda yang ditimbulkan burung-burung itu membuat Arwah Pedang curiga. Ada kemungkinan, dia sedang dalam kesulitan. Segera di burunya tempat dibawah burung-burung itu berputar berkeliling.

Langkah kaki Arwah Pedang telah membawanya menuju pondok kecil, tiba-tiba kuduknya dibangkitkan oleh semacam perasaan yang misterius. Selama hidup, Arwah Pedang tidak pernah merasakan takut. Tapi entah kenapa, pondok kecil itu mendatangkan rasa seram di hatinya. Lamat-lamat dari dalam lelaki jangkung ini bisa merasakan ada letupan hawa murni yang terbit dan membuyar bersama udara. Letupan hawa murni itu cepat sekali menghilang dan secepat itupula timbul, membuat Arwah Pedang tak berani melangkahkan kaki lebih dalam.

Dulu, dia pernah mendengar cerita, jika merasakan aura hawa sakti yang memendar redup dan kuat secara simultan, mengartikan ada seseorang menguasai semacam teknik terlarang yang sanggup meyedot hawa murni lawan. Tak perduli kau menyerang beberapa kali, tiap hawa sakti yang menghampirinya akan disedot tuntas.

Tanpa sadar keringat dingin mengucur membuat punggung Arwah Pedang basah, dia tak pernah ragu dalam bertindak, tapi tiba-tiba saja dia harus menghadapi keraguan terbesar dalam hidupnya. Dengan perlahan lelaki jangkung ini mengundurkan langkah, dia benar-benar tidak berani melanjutkan langkah mendekati pondok itu.

Padahal, seandainya keputusan untuk memasuki pondok bambu dibuat Arwah Pedang, dia bisa menghindarkan bencana dalam dunia persilatan. Di dalam pondok, lelaki yang sudah menguras tuntas hawa murni seorang murid Perguruan Walet Hijau, terlihat sedang kesulitan mencerna tenga saktinya. Desakan dari belasan jenis hawa murni yang sudah diserapnya membuat simpul-simpul penguasaan hawa itu tak kuat menampung. Saat ini, kondisinya berada pada titik terlemah.

===o0o===

Jaka sedang meneliti gulungan yang diperoleh dari bawah kandang sapi. Berkali-kali dahinya berkerut, seluruh isi tulisan menggunakan bahasa bersayap dan umum, terlihat tidak begitu penting, tapi Jaka paham, ini semua sangat penting. Sehingga harus disamarkan secara rumit. Pemuda ini merasa sedang membaca sebuah cerita, judulnya sangat aneh: Lintasan garis dalam tujuh tautan. Hingga akhirnya atas pengetahuan dari ragam sandi yang juga ada dalam rontal-rontal tersebut, Jaka bisa menyimpulkan tentang hal-hal yang coba diurai dalam catatan tersebut. Sebuah garis dengan tujuh lintasan…

Dalam cerita itu, Jaka bisa sedikit mengambil kesimpulan ada semacam transaksi yang pernah, sedang, dan akan berjalan antara orang yang menulis cerita dengan sebuah garis dengan tujuh lintasan. Jaka tidak tahu, macam apa garis dengan tujuh lintasan itu. Namun dalam kisah yang di ceritakan ini, fungsi garis dengan tujuh lintasan seperti pengawas, pemberi peringatan, dan sesekali mengesksekusi. Atas fungsi-fungsi itupun Jaka baru bisa mengambil kesimpulan dengan susah payah setelah mentransalasikan dengan simbol dan kode dalam rontal sebelumnya.

“Kota Pagaruyung?” pikirnya setelah harus mengutak-atik kalimat—membongkar lalu menyusun dengan kalimat lain. Pagaruyung ada salah satu yang dihasilkan dari utak-atik gatuk itu, dan Jaka tahu, kota itu adalah kota terujung Kerajaan Kadungga yang berbatasan langsung dengan Kerajaan Rakahayu. “Apakah yang disebut garis ini ada disana?”

Jaka menimang-nimang apakah dirinya perlu kesana untuk memperjelas segala sesuatunya. Tapi mestinya, pihak Sandigdha—Keluarga Tumparaka, sudah mengambil tindakan atisipasi, mengingat tempat persembunyian mereka sudah diacak-acak.

Tok-tok!

Pintu kamarnya di ketuk, “Sebentar!” sahut Jaka sambil membereskan gulungan itu dan menyimpannya. Dia segera membuka pintu, terlihat wajah Ki Alih sangat serius. “Ada apa paman?” Tanya Jaka dengan kening berkerut.

“Kita harus segera bergegas menuju Pratyantara.” Katanya tegas.

Jaka tak banyak bertanya, pasti ada hal penting yang membuat Ki Alih begitu serius. Cambuk menyertai perjalanan Jaka dan Ki Alih. Dari rumah batu markas sementara Jaka, untuk mencapai tempat yang disenyalir sebagai kantor pusat Pratyantara, bagi orang-orang seperti mereka cukup dalam satu hari satu malam, mereka sudah tiba.

Mereka pernah menggunakan nama Pratyantara untuk transaksi dengan Kerajaan Kadungga, tak disangka sekarang harus menuju markas mereka untuk meneliti sesuatu. Tak jauh dari bangunan yang disenyalir sebagai markas Pratyantara. Seorang lelaki bertubuh gemuk menyambut ketiganya.

“Yang manakah Mahapandra?” dia bertanya, maklum saja mereka dalam kondisi menyamar, maka orang itu tak mengenal.

Jaka tidak menjawab, hanya mengangkat tangannya memberi isyarat.

“Mohon mengikuti saya…” katanya dengan hormat.

Ki Alih beserta Cambuk saling pandang, mereka membiarkan Jaka masuk kedalam bangunan.

“Kau tidak memberitahukan apapun padanya, kakang?” Tanya Cambuk pada Ki Alih.

“Aku tidak berani.” Sahutnya singkat.

Cambuk mengerutkan kening, meskipun Jaka orang yang sangat terkendali, tapi manakala menghadapi suatu kabar yang mengejutkan, entah reaksi apa yang akan di lakukannya? Mereka menerima kabar dari mata-mata yang di tugaskan Penikam, beberapa penyusup yang di tanamkan di perkumpulan Pratyantara, sudah disapu bersih, dan itu termasuk Ratnatraya.

Ratnatraya bukan dari kalangan persilatan, bukan pula kerabat Jaka, tapi wanita berusia pertengahan tigapuluhan itu sangat dekat dengan Jaka, pada suatu kesempatan Jaka pernah mengatakan pada mereka, bahwa; dia bersyukur punya kakak perempuan yang memperhatikan segala sesuatu urusannya. Cambuk tahu, yang di maksud kakak perempuan adalah Ratnatraya. Seorang wanita yang diselamatkan Jaka dari sekapan pejabat gila. Ratnatraya ditahan dengan belasan orang wanita lain, mereka dijadikan budak nafsu seorang pejabat yang memiliki hubungan dengan kalangan tokoh hitam. Ratnatraya sekalian dijadikan alat untuk mengorek informasi dari tokoh-tokoh pesilat. Setiap hari mereka harus mengkonsumsi obat perangsang. Pendek kata, Ratnatraya sudah mati sebelum kematian itu sendiri datang.

Bahkan setelah diselamatkan Jaka Bayu, wanita itu lebih memilih mati. Tapi atas ketelatenan Jaka dalam mengentaskan kecanduan atas obat perangsang yang mematikan syaraf-syarafnya, membuat Ratnatraya memilih mengikuti Jaka.

Ki Alih masih teringat dialog yang membuat dadanya sesak.

“Kau sudah menyelamatkanku, membuatku kembali menjadi wanita normal, memberikanku sebuah pengormatan pula… jika tidak kau izinkan aku mengikutimu, lebah baik aku mati.” Ucap Ratnatraya tegas.

Waktu itu Jaka tidak punya pilihan lagi. “Mengikutiku akan sangat menyulitkan kehidupanmu.” Katanya saat itu

Ratnatraya tertawa getir. “Bagiku, saat ini tidak ada kehidupan sulit yang melebih kesulitanku sebelumnya…” Ya, Ki Alih dapat membenarkan alasan itu, bagi seorang wanita, dipaksa melacur—membuatnya harus terkena beragam penyakit kelamin, kecanduan perangsang, dan tak lagi punya pengharapan hidup, jelas merupkan puncak siksaan hidup. Memangnya apa lagi yang lebih sulit dari pada itu?

Jaka menerimanya, perhatian pemuda itu pada Ratnatraya memang dilakukan semata-mata supaya wanita itu memiliki semangat hidup lagi. Hubungan keduanya sangat dekat, bukan sebagai kekasih tentunya, tapi seperti kakak beradik. Ratnatraya  membalas penghormatan Jaka dengan mencurahkan segenap perhatiannya untuk kebaikan Jaka Bayu. Mulai dari pakaian, makanan, hingga memaksa pemuda itu beristirahat jika sudah masanya. Dan pada suatu ketika, Ratnatraya meminta pada Jaka untuk diberikan tugas tertentu. Dia merasa malu hanya menjadi beban Jaka.

Jaka tahu, penolakannya akan membuat Ratnatraya mengancam untuk bunuh diri lagi. Maka dia berdiskusi dengan Penikam, tempat manakah yang paling baik dan aman untuk wanita seperti Ratnatraya. Dan jawaban waktu itu adalah Perkumpulan Pratyantara. Ratnatraya sudah empat bulan berada disana, dia berprofesi sebagai mata-mata yang merangkap menjadi juru masak. Dan hingga kini…

Ki Alih menghirup udara dalam-dalam. Dia memperhatikan rumah itu terus, menduga-duga apakah yang akan di lakukan Jaka dengan situasi saat ini? Dari dalam rumah muncul lelaki yang tadi meminta Jaka untuk masuk.

“Tu-tuan, bisakah anda berdua masuk?”

Cambuk saling pandang dengan Ki Alih, tanpa bertanya keduanya mengikut masuk. Mereka hanya melihat punggung Jaka di ruangan paling belakang, pemuda ini berdiri di pintu masuk kamar membelakangi mereka. Dia berdiri tertegun.

Cambuk mencoba mengintip dari sisi tubuh Jaka, terlihat di pembaringan sosok wanita yang sudah membujur kaku, tertutup kain menyisakan wajah cantiknya yang sudah membeku.

“Paman Alih,” Jaka memanggil dengan suara parau.

“Ya?”

“Mulai saat ini, Pratyantara menjadi tanggung jawabmu.”

Ki Alih mengiyakan. “Apakah aku harus mencari pembunuhnya?” lanjutnya bertanya.

Jaka tidak menjawab. Hanya mengangguk.

“Apa yang harus kulakukan padanya?”

Jaka membalikan badan, dalam sekilas mereka bisa melihat tatapan Jaka seperti mengeluarkan percikan api, begitu tajam menakutkan. Pemuda ini mengatupkan matanya sesaat. “Temukan motifnya, kenapa dia harus membunuh orang-orang kita… membunuh Ratnatraya!” desis Jaka dengan suara dalam.

“Dia terbunuh karena apa?” Cambuk bertanya dengan wajah meringis, karena pinggangnya di sikut Ki Alih secara mendadak.  Kepalan Arhat Tujuh terlihat mendelik, mengingatkan Cambuk supaya tidak bertanya disaat seperti ini.

“Tidak apa paman…” gumam Jaka sembari menutup pintu kamar. Dia menoleh kepada lelaki gemuk. “Aku sendiri yang akan memakamkannya, kau dan teman-temanmu tidak perlu repot.”

Sambil mengangguk mengiyakan takzim, si gemuk undur diri.

Jaka duduk dengan perasaan tegang, tangannya terkepal erat. Membuat Cambuk merasa bersalah atas pertanyaan tadi.

“A-aku sudah memeriksanya…” kata Jaka dengan parau. “Dia meninggal karena keletihan… keletihan yang luar biasa!” setelah berbicara demikian Jaka menghembuskan nafas panjang. “Aku akan memakamkannya sekarang, setelah itu aku akan kembali. Paman sekalian urus persoalan disini hingga tuntas!” katanya singkat dan berlalu dari hadapan mereka.

Ki Alih dan Cambuk hanya bisa mengiyakan saja, Cambuk terbelalak saat tanpa sengaja tangannya menyentuh kursi yang tadi diduduki Jaka. Kursi dari kayu jati yang keras itu sudah menjadi bubuk, rupanya pemuda yang sehari-hari sangat terkendali inipun, tengah bermasalah menahan marah, membuat kursi harus hancur lebur karena tak kuat menahan pancaran hawa saktinya.

Jaka masuk kekamar itu lagi. Di tepi pembaringan, Jaka menatap Ratnatraya dengan mata berkaca-kaca. “Kau hampir mengakhiri hidup karena rasa malumu… kenapa pula sekarang karena mengikutiku, kau harus meninggal dengan cara begini?” sesal Jaka menyalahkan dirinya. Pemuda ini sudah melakukan pemeriksaan, Ratnatraya tewas karena kecanduan lagi, dan keletihan. Letih karena harus bercinta terus menerus. Entah berapa lelaki yang menggilir wanita malang itu. Mengingat hal itu, membuat amarah Jaka meluap lagi. Tapi pemuda ini menahannya, dia tidak ingin karena rasa marah, membuat dirinya melakukan pembalasan. Dan bertindak semena-mena.

Dari luar, Ki Alih dan Cambuk mendengar ‘dak-duk’ didalam kamar, nampaknya Jaka berniat membuat makam di dalam kamar. Mereka berdua tidak berani masuk membantu. Keduanya membiarkan Jaka memberikan penghormatan terakhir pada Ratnatraya

===o0o===

About jannotama

seorang penyuka cerita silat.. dan akhirnya menjadi penulis silat. bergenre aneh, menyebalkan, mumeti, bikin eneg, tapi katanya ngangeni.. hoho
This entry was posted in Seruling Sakti and tagged , , . Bookmark the permalink.

56 Responses to 123 – Domino Effect : … akhir sebuah awal – D[i]

  1. hastin hastacapala murka says:

    Suhu didit…^_^ sudah hari rabu…mana bab baru mas jaka bayu nya…GBu suhu..

  2. Dhani says:

    Aduuuh…. Mas Didit… Mau nonton Real Madrid ama MU lama bangeet. mudah mudahan ni SS ada biar nggak kerasa ni waktu….

  3. |a says:

    ..dan selasa pun akan purna, tapi tak datang juga jaka. apakah dia akan muncul, di kelokan itu, seperti suara pagi yang sirna, atau melesat, daun yang dikipaskan angin, pucat menembaga.

    di ujung sana, hanya waktu yang menunggu, berjaga, seperti burung hantu: ”jaka, kau di mana?”

  4. suta sena says:

    Menunggu hingga tengah malam…..^_^ begadang menunggu update jaka bayu…..

  5. Afri7al says:

    Jakaaaaaaa,,,,,

    Dimana kamuu….

    ๏̯͡๏

  6. watu agni says:

    Ikut antri…..suhu didit!

  7. sastro says:

    ikut ngantri juga

  8. aris says:

    Ikut antri sembako….chapter terbaru kang jaka !

  9. benny says:

    kayanya antrian sudah mulai panjang nih…..hiks..hiks…Sakau

  10. willy says:

    Ikutan antri

  11. sigith says:

    hadeuh, suruh nebak…gak kepikir mas apa clue lain selain ada diantara delapan sahabat empat penjuru yang jadi tokoh antagonis. tapi misterinya bener2 bikin penasaran. hampir tiap hari pantau nih blog, semangat mas didit, cerita yang sangat menarik…..

  12. Krincing says:

    Setia menanti

  13. akanksant says:

    Pantau terus nie sampai tengah malam,semoga ada pembagian sembako..nunggu besok keburu sakaw..he.he..

  14. jannotama says:

    wah banyak yang antri ya.. Hehe.. Maaf kawan2, semoga sebelum senin habis, masih sempet upload (belum kelar juga si).. Paling lambat besok.. Insha Allah. Lg jadi tukang anter undangan adik nih.. Dr pagi belum kelar juga..:(

  15. andriyanto says:

    mas didit,kok hari senin ini ss blm ada updatenya…..

  16. benny says:

    ikut antrian nih…

  17. eds5 says:

    Tambah lagi dengan 8 sahabat??? Welwh, makin rumit nih…
    Suta Sena belom keliatan…..

  18. yoesman says:

    Ngantri jga ahhh…hrap bersabar…hehehe…

  19. Yusufhari says:

    Ikut ngantri juga aah… sambil lunch trus coffee break..

  20. BadjoBarat says:

    Senin2 ikut ngantri aahhhh. . . Sembako dari mas didit hahahahaha. . . .

  21. |a says:

    akhirnyaaa…. sampai juga hari senin, dan merefresh-lah ini kali berulang, hehehe… *berdoa, semoga ada*

  22. apringendut says:

    waduhhhh jadi + penasaran pak bos hehe…
    #setia menunggu pokoke lah wkwkwkwkwk

  23. BadjoeBarat says:

    Alhamdulillah. . . Makasih mas didit hehehehehe. . . .

  24. garak says:

    hooh mas pokoke cerita suhu makin hot & top markotop aja deh hee..

  25. dhanie27 says:

    susah komennya nih pokoknya baca aja deh, terima kasih mas didit
    hadeh komennya

  26. akanksant says:

    Sudah ada titik terang kemana akhir nya alur cerita akan berakhir,tinggal merangkai clue-clue yg sudah ada…!! Mungkin kah..? padahal kaya nya msh banyak kejutan2 lain seiring waktu dan imajinasi cianpwee didit yg berkembang.menambah rumit dari cerita yg sudah rumit.menambah teka teki dr cerita yg banyak teka teki.bagaimana akhir cerita…? Dr pada mikirin yg gk jelas,mendingan nunggu hari senin.nagih janji didit cianpwee aja yg mau mencoba istiqomah minimal tiap hari senin nambah chapter..ban2 kamsia….!

  27. muryadi says:

    hadewh …..ada sih sedikit titik terang disini-sedikit-ehemmm…jadi ke pagaruyung pun karena hal ini……….tapi si penghisap hawa murni itu siapa lagi….penyelidikan ini ..ini…dan itu…..dan ini ini yang lain…..haduh haduh …..mbaca lagi ngulang lagi…hehehehe…jangan harap tau titik terang kalo nggak punya daya ingat dan daya cerna yang tinggi,di tambah ketelitian…..ditambah……mbuhlah mumet aku,mending mbaca lanjutannya kalo udah keluar, biar nggak stress bin mumet mrai buthak wkwkkwk…musuh dalam selimut …….intrik tersembunyi…..musuh yang tidak tahu siapa…penyelidikan beberapa kasus….hahay …vuthak buthak dewh…

    • jannotama says:

      haha… Clue-nya simple, bambu lentur..

      jadi? :D:D

      • muryadi says:

        itu kan tetua dari macan lingga,entah yg empat/6 itu yg mana atau malah kakek baik hati.?…. yeah…pengkhianat perguruan macan lingga bakal terkuak.dan ada hubungan dengan kelompok satu garis tujuh lintasan.korban dari pihak jaka ternyata mereka-baru satu sih yg namanya ketahuan-tapi oleh siapa?!

      • muryadi says:

        gara gaara mumet …komen nya ikut ngaco…nggak teratur heheehehe….tidak “menjangkau ufuk masalah”

      • jannotama says:

        ha-ha-ha…
        Ya ya.. Ada juga yang menyebut, macan lingga.. Kita nantikan seperti apa.. 😀

  28. hery says:

    Oalah mas didit iki kok yo tego ,barusan di baca udah habis aduh gak bisa komentar yang jelas terima kasih dan istimewa untuk semuanya.tetap semangat

    • jannotama says:

      seperti biasa mas heri, kalo yg diupdate agak panjang, 1chapter dibagi 2 [i&ii], tp kl pendek2, bakal jadi 3 [i,ii,&iii] kl yg ini rasanya jadi 2 deh, hehe

  29. ysn26 says:

    jd gurunya Jaka n saudara2nya,jg tokoh antagonis y?pantas cerita cintanya akan dibuat tangis2an

  30. yoesman says:

    Maksih suhu didit…ceritanya semakin memanas…slalu bkin penasaran untuk terus mengikuti dan membaca kelanjutanya…thanks

  31. andriyanto says:

    mas didit, yudha ama gluduk alit ada rencana ga untuk di upload di blog mas didit n klo ada rencana kapan ?

  32. andriyanto says:

    mas didit ,Domino Effect : … akhir sebuah awal – C [ii] kok C (iii] nya ga ada,malah loncat ke D [i] sich…

  33. jannotama says:

    ada yang bisa menebak kemana arahnya cerita, setelah menyadari clue-clue bertebaran disana sini? Hehe
    selamat membaca..
    Ohya, untuk yang mencopy cerita ini ke web lain, jangan lupa sertakan web ini sebagai sumber awal ya.. Maturnuwun

Leave a reply to jannotama Cancel reply