006 – Riyut Atirodra

Dengan termangu, salah seorang dari mereka menjawab. “Sekalipun kami punya sembilan kepala, kami tak berani mengusik kaum Riyut Atirodra.” (Riyut Atirodra=Gelap gulita yang menakutkan).

Ya, Riyut Atrirodra adalah perkumpulan orang-orang yang tidak punya aturan, menurut mereka, di dunia persilatan apapun kehendak hati itulah batas aturan yang berlaku. Konon kaum Riyut Atirodra adalah tempatnya para sampah persilatan berkumpul. Jika mereka bertarung, sudah pasti selalu main keroyok dan menggunakan cara apapun untuk menang—menggunakan racun dan sandera adalah hal biasa bagi mereka.

Perkumpulan ini ada sejak empat puluh tahun silam. Kaum persilatan mengenalnya karena seragam baju mereka yang khas dan atribut lainnya yang berwarna warni, sangat mencolok.

Orang-orang rimba persilatan sama pusing kepala, jika berurusan dengan kaum Riyut Atrirodra, karena itu sebisa mungkin mereka menghindarinya. Lima tahun berselang, ada seorang tokoh ternama yang juga menjadi ketua perguruan besar, berurusan dengan kaum Riyut Atirodya. Meskipun dia dan anak muridnya sangat tangguh, tapi menghadapi gempuran ribuan orang yang menggunakan beragam senjata dengan bertempur tanpa mengindahkan peraturan, racun mematikan digunakan, bahkan lawan yang tertangkap dipakai sebagai tameng… mereka hanya menunggu waktu kejatuhan saja. Dalam waktu tempo semalam, Perguruan Teratai Lindu yang ternama, beserta penghuninya lenyap tak berbekas. Hanya tinggal bangunan kosong dan ceceran darah saja yang tersisa dari pertempuran itu.

Dalam dunia persilatan, Perguruan Teratai Lindu pernah tercatat memiliki andil besar, tapi kini hanya tinggal sejarah.

Itulah cara kerja kaum terbuang, tak perduli lawannya satu orang atau bahkan perkumpulan besar, mereka akan menyerang dengan jumlah besar, bahkan tak jarang dengan seluruh kekuatan. Tentu saja tak satu orangpun berani mengambil resiko melawan kaum terbuang itu.

Markas besar Riyut Atirodra ada di sebuah Pulau Cangkang diseberang lautan. Dari Jawa Dwipa, butuh sehari semalam untuk mencapainya. Jumlah mereka sangat banyak, konon mencapi belasan ribu, ada divisi-divisi tertentu yang mengurusi berbagai keperluan. Menurut kabar yang beredar, ada sebelas divisi yang pernah berkeliaran di dunia persilatan. Sebelas pimpinan divisi juga termasuk orang-orang berilmu tinggi. Belum lagi pimpinan tertinggi yang mengepalai seluruh divisi.

Tapi sejauh ini kaum persilatan hanya mengetahui para pimpinan divisi saja, siapa pimpinan tertinggi yang mengendalikan seluruh divisi, hanya orang-orang tertentu saja yang tahu. Untungnya kaum Riyut Atirodra juga orang-orang yang malas mencari urusan. Mereka lebih suka berada di markasnya, ketimbang keluyuran di dunia persilatan.

Kini… tak disangka, ada sebelas anggota Riyut Atirodya yang tergolek di punggung kudanya dalam kondisi mengenaskan. Siapakah orang yang berani berurusan dengan kaum terbuang itu?

Walau anggota Pratyantara selalu menganggap remeh perkumpulan manapun, tapi untuk yang satu ini, tak terbayangkan untuk meremehkan. Bahkan jika berselisih—andai ini terjadi—dengan kaum terbuang, mereka lebih baik mencari pengampunan.

“Bangsat! Siapa berani cari mampus mengusik kaum Riyut Atirodra?!” bentakan dengan suara melengking tinggi, memecah kebekuan suasana.

Tentu saja baik dari biro pengiriman dan anggota Pratyantara, tak berani menyahut. Tapi mendadak dari kejauhan terdengar gelak suara membahana.

“Bangsat cilik macam Riyut Atirodya belum pantas untuk menjadi tukang cuci pantat kudaku, kenapa aku harus berurusan dengan manusia sampah macam kalian?”

“Keparat! Keluar kau!” bentak pemilik suara melengking itu gusar.

Belum lagi gaung suara berhenti, mendadak dari atas tebing muncul bayangan besar dan mendarat tepat diatas kereta kuda.

Brak! Tertimpa bobot berat dari ketinggian seperti itu, kereta kuda langsung hancur berkeping-keping. Demikian keras dan kasar cara mendaratnya, membuat orang tak percaya ada cara bodoh menuruni tebing seperti itu, tapi anehnya tekanan bobot tubuhnya hanya ada pada kereta saja, begitu kakinya menembus kereta dan menyentuh tanah, bahkan jejak kakipun tak membekas di tanah tebing.

Kini semua orang bisa melihat siapa gerangan orang itu, badannya yang tinggi besar dan kekar, membuatnya begitu berwibawa. Wajahnya gagah penuh cambang dan berapa luka sayat menghiasi pipinya. Saat tatapan matanya memandang berkeliling, dia mendengus.

“Huh! Maling kecil macam kalian pun sedang beraksi? Hendak bertingkah dihadapanku, heh?!”

Pemuda pertama—si pemilik kereta yang hancur—segera menyahut. “Siapa kau? Bukannya minta maaf sudah menghancurkan kereta, datang-datang malah memaki!”

Tak menyahuti ucapan itu, orang ini malah tergelak keras. Suaranya begitu menggelegar dan membuat telinga sakit.

“Begundal Riyut Atirodra, aku ada disini kalau kau sudah bosan hidup!” Ucapan sederhana itu semacam tanda, bahwa lelaki ini susah dihadapi. Sebab ucapan tadi sama saja dengan, ‘muncul dihadapanku kau pasti mampus’.

“Kurang ajar, segala keparat tak bernama mau ikut campur urusan kami?” suara melengking itu bergaung, tak lama kemudian melesat sosok tubuh dari atas tebing. Caranya turun berbeda dengan orang tadi, dia hanya sekali memantulkan kaki ke tebing, dan turun dengan enteng tepat didepan lawannya.

“Kau ini cuma pengawal kelas dua, berani pasang tampang didepanku?” bentak lelaki itu gusar.

Tanpa tanya ini-itu, tinjunya segera melayang menyerang. Tentu saja orang itu terkejut, dia pikir orang didepannya masih tahu aturan, tak tahunya sifatnya sama persis dengan kaumnya sendiri.

Tak sempat berkelit, dengan mengerahkan seluruh tenaga, di tangkisnya jotosan itu dengan tapaknya. Buuk! Tak terkira rasa kejutnya, begitu menahan jotosan itu, badannya terasa lunglai tanpa tenaga dan jatuh terjerembab tanpa daya.

Hadirin yang menyaksikan pertarungan singkat itu, tercengang. Pukulan tadi sungguh sederhana, sebuah serangan lurus, cepat dan akurat, tak membuang peluang, jurus umum seperti inipun bisa menjadi begitu mematikan di tangan lelaki tinggi besar itu. Sungguh penggunaan teknik yang sempurna. Tiba-tiba hadirin teringat akan suatu nama, ya! Dia adalah Hastin Hastacapala (Si Gajah yang sembarangan mengunakan tangannya; Hastin=Gajah/Liman).

Lelaki itu berusia paling banter 45 tahun, tapi wajahnya tak menyiratkan usianya. Pamornya di dunia persilatan bagaikan mentari di siang bolong. Tiap orang yang berkecimpung di Telaga Hijau(Dunia Persilatan) pasti tahu siapa dia. Kisah yang paling sering diceritakan dari mulut kemulut adalah saat dia seorang diri menyatroni Pulau Bala—markas para begal paling bengis dan lihay saat itu, hanya demi memaksa salah satu penghuninya membayar ongkos tukang sampan. Gara-gara masalah itu pula, Pula Bala tak lagi berpenghuni. Para begal itu tak lagi ada kabar beritanya. Menurut tukang sampan yang diberi uang Si Hastin, dia melihat dengan mata kepalanya sendiri, tak satupun begal selamat. Sebab semua kepala mereka pecah oleh pukulan Si Hastin. Banyak kisah Si Hastin yang membuat orang takut berurusan dengan dia, sebab tak satupun akan berakhir damai. Selalu bogem mentahnya yang bicara lebih dulu, golongan hitam lebih memilih kabur dan sembunyi jika berurusan dengannya, sedangkan golongan Putih lebih memilih diam jika bersinggungan dengan orang ini.

Dengan berkacak pinggang, dia membalikan badan, “Kalian kaum maling kenapa masih disini? Memangnya tunggu bapakmu menghajar kalian?!”

Usai berkata begitu, tangannya menyapu kearah dua kereta yang masih tersisa, angin dari sapuan tangannya membuat kuda-kuda penarik kereta panik dan terus lari, sayangnya kuda-kuda itu lari ke sebelah kanannya—tepat kearah jurang. Pasangan muda-mudi itu terkesip ketakutan, tapi mereka tak beranjak dari tempatnya.

Tak lama kemudian suara berdebum terdengar, “Wah, aku lupa melepas kekang kuda.” Gumam lelaki tinggi besar ini menyeringai sesal.

“Kau memang selalu seperti itu!” mendadak terdengar suara dari dalam jurang. Beberapa saat kemudian satu sosok tubuh muncul dari bawah sana, dengan ringannya dia menapak di jalanan sempit itu. Ditangannya nampak tali kekang kuda.

Si Hastin tertawa gembira melihat orang itu, “Ah, kau …” ujarnya sembari mendekat dan meraih tali kekang itu. Dengan sekali sentak saja, kuda-kuda yang tadi tergantung di dinding tebing, terangkat naik! Padahal ada empat ekor kuda yang tertambat pada kekang. Hadirin terperangah melihat demontrasi kekuatan Si Hastin.

“Terima kasih sudah membantuku melepas grobak tak berguna itu.”

“Sama-sama, lagi pula aku merasa sayang, kuda-kuda bagus ini mati di dasar jurang.” Ucap lelaki yang baru datang tadi dengan tersenyum.

Lelaki itu bertubuh tinggi, sama seperti Si Hastin, tapi badannya jauh lebih langsing—kalau tak mau di sebut kurus. Di pinggangnya terselip pedang pendek. Tapi ada yang khas dari dandanannya itu, leher bajunya yang tinggi, dan penutup kepala warna hijau ala kadarnya itu mengingatkan hadirin pada sosok yang membuat bergidik, dia tak lain Si Arwah Pedang.

Anggota Pratyantara tercekat, cukup salah seorang dari mereka saja sudah bisa membuat perkumpulan mereka tutup, konon lagi dua orang pentolan besar muncul sekaligus. Kali ini ketiga pasang muda mudi itu tak berani bercuit.

Yang aneh lagi, salah satu dari kusir tiba-tiba berjalan menjura pada Arwah Pedang, “Tak berapa lama lagi, saya kira beliau, akan sampai.” Katanya.

Kontan ucapan yang tak jelas tujuannya membuat semua orang heran. Tentu saja yang paling heran adalah sepasang muda mudi yang dikusirinya, mereka terperangah. Siapa sebenarnya kusir mereka? Tapi tidak bagi Arwah Pedang, di justru tersenyum.

“Oh, benarkah? Kalau begitu sampaikan pada beliau, aku ada disini.”

“Baik.” Kemudian si kusir dari kereta kedua ini, melontarkan bungkusan kecil ke udara, letupan asap putih terlihat.

“Hei apa maksudnya ini?” tanya Hastin pada Arwah Pedang.

Arwah Pedang tak langsung menjawab, dia menatap lurus kearah jurang. “Bukankah aku dulu pernah mengundangmu masuk kelompokku?” ujarnya.

“Ya, dan aku tidak mengatakan akan masuk.”

“Aku juga tak memaksa, siapa tahu setelah berjumpa beliau, kau berubah pikiran.”
Alis mata Hastin terangkat, beliau? Seingatnya, selama 22 tahun bersahabat dengan Arwah Pedang, belum pernah dia melihat sobatnya itu begitu menaruh perindahan pada orang sedemikian hormat. Sekalipun itu sesepuh dunia persilatan, Arwah Pedang juga akan menghadapinya dengan santai dan seadanya. Tapi sekarang? Mau tak mau hati Si Hastin tergelitik ingin tahu, orang macam apa yang telah menundukkan hati karibnya ini.

Praktis suasana menjadi senyap, kecuali dua orang itu tak satupun berani buka omongan. Bahkan sepasang muda-mudi yang begitu marah atas sikap kusirnya, terpaksa menelan keingintahuan mereka.

“Lalu kau ada urusan apa dengan Riyut Atirodra?”

“Huh! Biarpun aku tak ada kepentingan apapun, ketemu kaum laknat macam mereka pasti kubasmi satu persatu.” Dengus Hastin gemas.

Arwah Pedang tertawa sambil geleng-geleng kepala, sifat berangasan Si Hastin memang membuatnya sering pusing kepala.

“Cuma sesederhana itu?”

“Seharusnya.” Seru Hastin geram.

“Seharusnya?”

“Ya! Tadi aku menjumpai mereka memasang bubuk belerang, 8 pal dari sini. Kelihatannya mereka mau meledakkan jalan itu!”

“Ah…” Arwah Pedang terkejut, hadirin juga terkejut, tapi mereka tetap tak berani bersuara. “Tak kuduga kaum yang paling malas berurusan dengan segala tetek bengek menjadi begitu giat?”

“Aku juga merasa heran. Pasti ada sesuatu yang mereka incar!”

Mendengar ulasan Hastin anggota Pratyantara terkesip, jika Riyut Atirodra menginginkan hal yang mereka inginkan juga, berarti persoalannya tak sesederhana yang mereka kira.

Hastin mendekati anggota biro pengiriman, dia memeriksa dua orang yang tergeletak tanpa diketahui nasibnya itu. “Hm, sangat parah…”

“Apakah saudara-saudaraku bisa disembuhkan tuan?” Tanya seorang lagi yang bersandar di dinding tebing.

Hastin menatap orang itu, lalu mendekatinya. Tak dinyana Hastin justru menampar orang itu, sampai pingsan.

“Hei apa yang tuan…” dua anggota biro pengiriman yang masih bugar, terkejut.

“Tenang saja,” potong Arwah Pedang,.”Begitu cara dia menyembuhkan cedera dalam.” Ujarnya menenangkan.

Mendengar penjelasannya, hadirin baru paham, tapi tak disangka orang yang sangat ditakuti kaum persilatan ternyata sangat ramah, diluaran sana, tersiar kabar Arwah Pedang hanya bicara dengan orang yang setimpal dengan ilmunya, atau dengan musuh yang akan dihabisinya. Jika dalam sehari dia tak berjumpa musuh, maka jangan harap bisa mendengar suaranya.

Hastin mendudukan orang yang tadi ditamparnya. “Aku mungkin masih sanggup mengobati temanmu yang ini, tapi dua orang yang lain aku tak sanggup.”

“Terima kasih banyak, tuan. Kami juga tak banyak berharap melihat kodisi mereka.”

Tiba-tiba terdengar tawa kusir yang tadi memberi kabar pada Arwah Pedang. “Kau tak perlu kawatir, dua saudaramu pasti bisa disembuhkan kembali. Aku jamin!” Katanya pasti.

Hastin heran dengan keyakinan kusir misterius itu, tapi begitu sobatnya juga turut mengamini. Dia lebih merasa heran lagi.

“Eh, kau sendiri, ada urusan apa datang kesini?” tanya Si Hastin pada Arwah Pedang.

“Mungkin alasanku sama dengan alasan orang pada umumnya.”

“Harta?”

Arwah Pedang tertawa geli. “Harta? Kau pikir aku terlalu miskin? Aku tak mengarapkan apa-apa lagi, aku hanya butuh melemaskan otot.” Ujarnya.

“Memangnya ada orang yang layak kau tunggu lagi?”

“Masih banyak, baru kali ini aku merasa harus lebih giat berlatih lagi. Ternyata lautan itu sangat luas, langit pun begitu tinggi. Saat ini aku hanyalah puncak gunung.”

Hasti terperangah mendengar ucapan sobatnya, satu tahun yang lalu, tak mungkin Arwah Pedang berkata demikian rendah hati.

“Apa yang terjadi denganmu?” tanyanya penuh keheranan.

“Kau akan tahu sesaat lagi.” Ujarnya dengan santai. “Lalu, menurutmu, akan kau apakan orang-orang ini?” tunjuknya pada tubuh-tubuh bergelimpangan kaum Riyut Atirodra.

Si Hastin tercenung sesaat, “Sebenarnya aku ingin melenyapkan mereka. Tapi, mungkin saat ini mereka masih berguna.”

“Kau tak khawatir berurusan dengan mereka?”

Hastin tertawa geli. “Paling-paling mati, apa yang kutakutkan?”

Arwah Pedang menggeleng prihatin. “Aku tak menanyakan dirimu, yang kukhawatirkan justru orang-orang disekitarmu.”

Hastin menghela nafas panjang, wajahnya menunjukkan rasa khawatir. Jika kau tanyakan pada kaum persilatan dimana kampung Si Hastin, orang pasti akan segera menunjuk Telaga Lungsir(sutera), disana ada lebih 200 kepala keluarga yang hidup dibawah perlindungan Hastin Hastacapala. Meskipun sebagian dari mereka kaum persilatan dan memiliki kedigdayaan, tapi menghadapi serbuan Riyut Atirodra yang tak tahu aturan dalam jumlah ribuan? Siapa yang sanggup?

“Kita lihat nanti saja…” gumamnya gundah.

Arwah Pedang ikut prihatin, jika mereka adalah jiwa-jiwa yang bebas merdeka, tak memiliki tanggungan, setan kepala sepuluhpun akan mereka tantang duel.

“Saya rasa, permasalah ini bisa dirembuk dengan seksama nantinya.” Tiba-tiba si kusir misterius menyahut.

“Memangnya ada orang yang bisa menahan ribuan kaum bangsat ini?!” tukas Hastin gusar.

Arwah Pedang menyahut. “Sebenarnya ada banyak orang dan perkumpulan yang sanggup menahannya, permasalahannya; kita tak tahu keberadaan mereka.”

“Huh! Berita tak berguna!” gerutu Hastin.

“Tapi aku tahu satu orang…”

“Hah! Siapa?!”

Berita itu benar-benar menguncangkan hadirin, termasuk orang dari Riyut Atirodra yang baru saja dilumpuhkan Si Hastin.

“Puih! Omong kosong!” geramnya gusar.

Hastin menoleh padanya, “Aha! orang tak berguna sudah siuman rupanya…”
Buuk! Kakinya menyepak perut orang itu dengan keras. Untung saja dia tak mengunakan tenaga kelewat keras. Meski demikian orang ini tetap merasakan perutnya sangat mulas.

“Siapa dia?”

Arwah Pedang mengangkat bahunya, sembari tersenyum dia berkata. “Aku tak akan mengatakan sekarang, tapi biarlah kau yang menyimpulkan, apakah menurutmu dia sanggup atau tidak.”

“Ada orang yang sanggup menghadapi Riyut Atirodra, tentu berita besar ini sudah menyebar lama di dunia persilatan!” sinis terdengar perkataan dari anggota Riyut Atirodra.

Hadirin terpekur mendengarnya; benar juga, masalah sebesar itu tentu saja tiap orang akan segera tahu. Jadi, apa benar yang diucapkan Arwah Pedang? Tak mungkin tokoh sekaliber dia mengucapkan omong kosong. Hastin pun sudah berkesimpulan, pasti seseorang yang sanggup menaklukkan hati sahabatnya itulah orangnya.
Suasana jadi senyap sesaat.

“Kalian bilang menunggu orang lain, siapa yang kalian tunggu?” mendadak si kusir misterius bertanya pada dua anggota biro pengiriman.

Terbatuk sesaat, mereka berdua saling pandangan dan menjawab lirih. “Swara Nabhya.” (Swara Nabhya=Suara berkabut, tak ada wujud—sosok misterius)

“Ah!” Jeritan kaget terdengar dari seorang gadis anggota Pratyantara, selebar wajahnya pucat pasi. “Ke-kenapa kalian bisa tahu?” tanyanya dengan bimbang.

“Tahu?!” dengus mereka melirik dengan tatapan nyalang penuh dendam, namun sesaat sinar mata itu meredup. “Kami tak tahu apapun, sepanjang perjalanan, selalu ada suara yang memberi kami petunjuk, tapi di lain pihak dia juga mengancam akan merebut barang titipan kami.”

“Kenapa kau namakan demikian?”

“Sebab suara itu muncul seperti kabut, hanya terdengar pagi dan sore hari.”

Si Kusir misterius menatap dua orang anggota biro pengiriman dengan mimik aneh. “Yang kalian dengar suara lelaki apa wanita?”

“Keduanya, dan silih berganti.“

“Hm…” gumaman Hastin menarik perhatian orang. “Tak aku sangka akan jadi begini. Orang-orang Lembah Halimun sampai ikut campur. Apa yang kalian bawa?”

“Kami tak tahu, hanya ada titipan dari sekolompok orang supaya disampaikan pada suatu tempat.”

“Dan kalian ingin benda itu?” tanya Hastin pada orang-orang Pratyantara.

“Be-benar,” jawab pemuda dari kereta pertama terbata.

“Info apa yang kalian dapatkan sampai mengejar demikian jauhnya?”

Mereka saling pandang, bimbang. Keenam muda-mudi ini adalah tipe manusia yang sering menindas orang lain, tapi di hadapan Hastin, keberanian mereka menguap entah kemana.

Menuruti watak mereka, sudah pasti tak ingin menjawab, tapi mereka sangat paham, jika Hastin mendapat jawaban kurang memuaskan, kepalannya pasti akan ikut campur. Itulah hal paling pasti dari lelaki berjuluk Hastin Hastacapala. Dan itu sangat mereka hindari.

“Kurang jelas juga, ketua kami yang mendapatkannya. Kami hanya diperintah supaya kemari, mengejar lima orang ini, dan merebut barangnya. Entah barang apa, kamipun tak tahu.”

“Hm, tak mengherankan. Dengan otak maling Jung Simpar, apapun di sikatnya, sudah menjadi kewajaran kalian mudah ditipu.” Dengus Hastin. (Jung Simpar= Kaki Terasing, bisa diartikan orang yang jarang keluar, cukup mengutus anak buahnya)

“Tuan memang benar,” Si Kusir Misterius menimpali. “seseorang memberikan kabar pada Jung Simpar, cara memberikannya pun sangat istimewa. Benda-benda koleksi berharganya, dicuri dari tempat rahasianya.”

“Dari mana kau peroleh informasi itu?” tanya pemuda dari kereta ketiga. Tadinya dia merasa sangat marah dan ingin membunuh kusir penghianat ini. Tapi dia sadar, persoalannya tak semudah itu. Semudah itukah orang luar masuk ke perkumpulan mereka? Dia sendiri tak yakin. Karena tiap anggota utama mereka kenal satu persatu, dan orang diluar lingkaran mereka tidak memiliki akses kedalam, sudah pasti ada banyak kejanggalan jika seorang bisa menyusup.

Si Kusir misterius tertawa. “Aku tak perlu menceritakan padamu, cukup kalian tanyakan pada Jung Simpar. Kuyakin kali ini dia akan berpikir panjang jika ada berita menggiurkan.”

“Kalian harus pahami sesuatu…” mendadak Arwah Pedang bicara. “kalian pikir kusir ini sudah bekerja berapa lama di perkumpulan kalian? Kenapa tiba-tiba dia berada pada pihak lain? Hal seperti itu sangat lumrah. Jadi tak usah berpikir bahwa perkumpulan kalian sangat sulit untuk disusupi.” Seolah bisa membaca pikiran, ucapan Arwah Pedang benar-benar tepat sasaran.

Mereka tahu kusir yang mereka pakai sudah ada sebelum mereka masuk perguruan, jadi sebenarnya apa yang terjadi? Makin dipikir, malah makin membingungkan.

“Aneh…” gumam Hastin. “Apakah ketua kalian mengatakan sesuatu pada kalian?” dia bertanya pada orang-orang biro pengiriman.

“Menurut ketua, akan ada yang mengejar kami, tapi kami disuruhnya tak usah berkawatir. Karena akan ada pihak lain yang saling berebut. Saat itu kami bisa meloloskan diri. Tapi, kami tak mengira, akan begini jadinya.”

“Ketua kalian mengatakan asli palsunya barang yang kalian bawa?”

Mereka menggeleng.

“Tentu saja dia tak tahu apa-apa.” Mendadak terdengar suara bergaung.

“Ah… dia!” seru orang-orang biro pengiriman.

Mendadak mereka sadar, ternyata hari sudah menjelang sore. Dan menurut orang biro pengiriman, pada waktu-waktu seperti inilah terdengar suara yang mereka sebut Swara Nabhya.

“Dan kau tahu hal ini?” tanya Arwah Pedang penasaran.

Tiba-tiba terdengar gelak tawa, “Apa yang kutahu tak jauh beda dengan apa yang kalian tahu. Makanya aku mengikuti mereka.” Kali ini, suara perempuan. Begitu mendengar suara tersebut, mendadak gadis-gadis dari Pratyantara menggigil, wajah mereka pucat pasi, hadirin memperhatikan kejadian itu, tapi tak memperdulikannya.

“Cuma satu hal yang aku paham…” sambung Swara Nabhya. “Ada orang yang berani mengusik kami, tentu saja aku harus turun tangan!” desisnya dengan nada geram.

Suasana jadi hening, kali ini hadirin merasa persoalan jadi makin rumit. Utusan Biro Pengiriman yang dikejar kaum maling elit; Swara Nabhya yang membayangi utusan biro pengiriman; Kemunculan kaum Riyut Atirodra; bahkan hadirnya Hastin dan Arwah Pedang yang kebetulan juga merupakan satu tanda tanya besar. Lalu pertanyaan paling penting; barang apa yang akan dikirim?

“Kau sendiri ada urusan apa, berkeliaran disini?” Tanya Hastin pada pentolan Riyut Atirodra yang tadi dia hajar.

“Memangnya, ini dunia bapakmu? Kemana kami pergi, suka-suka kami!”

Hastin tertawa. “Memang, itu bukan urusanku, tapi menjadi urusanku saat kalian ingin menghancurkan separuh jalan ini.”

“Huh! Cara kami mengatasi pencuri memang begitu! Aku tak perlu menunggu kau setuju atau tidak!” jawabnya ketus.

Seolah tak ada kaitannya, tapi karena berbagai pihak bertemu dalam satu kejadian, maka hadirin bisa mengambil kesimpulan. Swara Nabhya yang diusik ketenangannya, dan kaum Riyut Atirodra yang kecurian. Rupanya ada orang yang saling membenturkan berbagai pihak, dan tentunya mereka yang akan mengambil keuntungan. Lalu, apa hubungannya dengan barang yang akan dikirim, dengan ‘pemanis’ gangguan dari gerombolan pencuri elit, yang sudah direncakan pihak misterius ini?

Makin mereka paham persoalan yang sedang terjadi, makin terasa pula aroma darah yang akan tertumpah. Bahkan pihak yang paling tak ambil perduli dengan untung-rugi—Riyut Atirodra, bisa mengambil kesimpulan sama. Kali ini mereka harus berhitung, apakah dengan turun tangannya mereka ada pihak yang diuntungkan? Diuntungkan dengan hasil yang berlipat! Tentu saja mereka tak ingin bertindak bodoh.

Suasana jadi kikuk, karena masing-masing pihak memiliki kepentingan sendiri, mereka tak akan bertindak gegabah dengan melakukan aksi lebih dulu. Orang-orang biro pengirimanpun tak lagi dalam posisi mengurung, mereka sibuk mengobati temannya yang terluka.

Dari kejauhan terdengar sayup-suyup derap kaki kuda, menilik bunyinya kuda itu cuma ada satu. Situasi yang kaku membuat tiap orang ingin tahu siapa penunggang kuda itu. Tak berapa lama kemudian dari tikungan sana muncul kuda yang dinanti. Hanya kuda saja… entah dimana yang menungganginya. Beberapa saat kemudian, dari belakang disusul dua orang yang berlari dengan begitu pesat, membuntuti kuda tadi.

About jannotama

seorang penyuka cerita silat.. dan akhirnya menjadi penulis silat. bergenre aneh, menyebalkan, mumeti, bikin eneg, tapi katanya ngangeni.. hoho
This entry was posted in Seruling Sakti and tagged , , , , . Bookmark the permalink.

Kritik dan Komentarnya Di tunggu